0

Keutamaan Menyebarkan Assalamualaikum

Selasa, 18 Mei 2010.
Keutamaan Menyebarkan Assalamualaikum

Sebagai ajaran Rabbani Islam memang lengkap dan sempurna. Islam mengatur segenap urusan kehidupan manusia dari perkara yang paling kecil hingga perkara yang paling besar. Dari urusan yang bersifat individual hingga urusan sosial.
Salah satu tuntunan Islam ialah perkara bertegur sapa antara seorang beriman dengan Muslim lainnya. Nabi Muhammad shollallahu 'alaih wa sallam mencontohkan bahwa bila seorang Muslim berjumpa dengan Muslim lainnya, maka hendaklah ia mengucapkan sapaan khas Islam yaitu As-Salamu 'Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh, artinya Salam damai untukmu dan semoga Rahmat dan Keberkahan Allah menyertaimu. Subhanallah...! Begitu indahnya tegur-sapa yang diajarkan agama Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman.
Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu 'alaih wa sallam menggambarkan tindakan mengucapkan salam sebagai bentuk ajaran Islam yang lebih baik. Menebar salam disetarakan dengan memberi makanan kepada orang yang dalam kesusahan.
Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaih wa sallam: "Manakah ajaran Islam yang lebih baik?" Rasul shollallahu 'alaih wa sallam bersabda: "Hendaklah engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak." (HR Bukhary)
Dalam hadits yang lain Nabi shollallahu 'alaih wa sallam menjelaskan korelasi antara mengucapkan salam dengan saling mencinta antara satu Muslim dengan Muslim lainnya. Kemudian korelasi antara saling mencinta dengan keimanan. Kemudian akhirnya korelasi antara beriman dengan izin dari Allah untuk masuk surga, negeri keabadian yang penuh dengan kesenangan abadi.
Berkata Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bersabda Rasulullah shollallahu 'alaih wa sallam: "Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak beriman secara sempurna sehingga kalian saling mencinta. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara bila kalian lakukan akan saling mencinta? Biasakanlah mengucapkan salam di antara kalian (apabila berjumpa)." (HR Muslim)
Dengan kata lain Nabi shollallahu 'alaih wa sallam ingin menjelaskan bahwa kumpulan Muslim yang tidak suka saling menebar salam maka tidak akan saling mencinta. Bila atmosfir saling mencinta tidak ada, maka keimanannya diragukan keberadaannya. Dan jika keimanannya diragukan, maka kemungkinan masuk surga-pun menjadi kecil.
Saudaraku, marilah kita berlomba untuk masuk surga dengan jalan senantiasa menebar salam satu sama lain di antara sesama kaum muslimin. Sungguh sederhana, namun sebagian kita enggan melakukannya. Padahal akibat yang ditimbulkannya menjadi idaman setiap Muslim: Masuk surga...! Bukankah ini bentuk kompetisi satu-satunya yang dibenarkan Allah untuk diperebutkan di antara sesama Muslim?
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa," (QS Ali Imran ayat 133). Ya Allah, aku mohon kepadaMu akan RidhaMu dan SurgaMu dan aku berlindung kepadaMu dari MurkaMu dan NerakaMu. (era)


copyright@2010
Dkutip dari harian bangsa.com
....read more..
0

Kemenkominfo: "Dunia Telekomunikasi Maju Luar Biasa"

Kemenkominfo: Dunia Telekomunikasi Maju Luar Biasa

Kepala Biro Perencanaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenfominfo) Syarief Widjaja mengatakan, perkembangan dunia informasi dan telekomunikasi di tanah air mengalami kemajuan luar biasa dalam lima tahun terakhir.

"Hingga awal 2010, telah terbangun 31 ribu lebih jaringan telekomunikasi di Indonesia," kata Syarief Widjaja dalam pembukaan rapat koordinasi daerah badan informasi se-Sumatera Utara di Siba Island, Belawan, Selasa.

Syarief mengatakan, pesatnya kemajuan dunia informasi dan telekomunikasi di Indonesia itu dapat dilihat dari kenaikan pajak telekomunikasi yang tercatat dalam data Kemenkominfo.

Pada tahun 2005, kata dia, pajak komunikasi telekomunikasi yang tercatat di Kemenkominfo hanya sekitar Rp700 miliar.

Namun pada tahun 2010, Kemenkominfo mencatat jumlah pajak tersebut mengalami peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai Rp10 triliun.

Salah satu faktor meningkatnya jumlah pajak telekomunikasi itu disebabkan banyak penggunaan telepon selular yang pada 2005 hanya mencapai 20 juta pengguna.

Sedangkan pada tahun 2010, jumlah pengguna telepon selular telah mencapai angka 140 juta lebih orang atau meningkat 700 persen.

Demikian juga dengan pengguna Internet yang pada tahun 2005 hanya sekitar 2-3 juta orang. "Sedangkan pada tahun 2010 pengguna internet telah mencapai 40 juta orang," katanya.

Ia menyebutkan, pesatnya perkembangan itu menyebabkan sektor dunia informasi dan telekomunikasi menjadi salah satu penghasilan pajak bagi negara.

"Dunia informasi dan telekomunikasi menjadi penyumbang pajak terbesar kedua di bidang nonmigas," katanya.

Menurut Syarief, perkembangan dunia informasi dan telekomunikasi di tanah air itu menyebabkan hampir tidak ada lagi daerah yang mengalami blank spot atau tidak mendapatkan sinyal komunikasi.

Meski demikian, Kemenkominfo masih terus mencanangkan berbagai program di bidang informasi dan telekomunikasi untuk lebih mencerdaskan rakyat.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menciptakan desa dan kecamatan yang mampu menjangkau Internet sehingga dapat memiliki peluang penguasaan informasi yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Pada tahun 2010 ini, kita akan membuat 5.400 desa dan kecamatan Internet," katanya.

(ANT/S026)

COPYRIGHT © 2010
Dikutip dari antaranews.com
....read more..
0

Mama Lauren Meninggal Dunia



Jakarta - Peramal terkenal, Mama Lauren meninggal dunia pada Senin malam sekitar pukul 21.37 di Rumah Sakit PGI Cikini JL Raden Saleh Jakarta Pusat.
Petugas informasi rumah sakit tersebut mengemukakan, Mama Lauren yang berusia 78 tahun dirawat sejak Minggu (16/5) siang.
Keluarga almarhumah kemudian menyemayamkannya di rumah duka di Perumahan Cipinang Indah II , Blok GG No 2, Kalimalang, Jakarta Timur. Menurut keterangan, jenazah Mama Lauren akan dimakamkan di TPU Menteng Pulo Jakarta pada Selasa (18/5) siang.
Kehadiran atau kemunculan Mama Lauren selalu ditunggu-tunggu masyarakat, terutama menjelang tahun baru. Di malam pergantian tahun, Mama Lauren ini tak pernah absen meramalkan apa yang akan terjadi di tahun berikutnya.

Data yang dihimpun menyebutkan, Mama Lauren lahir di Eindhoven, Belanda, 23 Januari 1932. Perempuan keturunan Belanda dengan nama Laurentia itu berada di Indonesia sejak 1953.

Di usia tiga bulan, Lauren sudah ditinggal ibunya. Beberapa tahun kemudian, ayahnya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Sejak itu, Lauren tinggal bersama nenek buyutnya, Antoineta di Belgia. Antoineta adalah orang yang paling berperan penting dalam kehidupan masa kecil Lauren.

Lauren memperoleh "pendengaran" itu pertama kali tahun 1939. Lauren yang tengah mengikuti pelajaran di kelas satu SD tiba-tiba mendengar bisikan. Bisikan itu menyuruhnya cepat-cepat keluar dari kelas. Lauren kaget dan segera menyampaikan apa yang dia dengar kepada ibu guru. Namun, ibu guru menganggap Lauren sedang mempermainkannya. Tak pelak lagi, Lauren dimarahi dan diusir pulang.

Beberapa hari kemudian, Lauren mendengar kabar sekolahnya hancur terkena bom. Ratusan orang tewas dalam peristiwa itu. Memang, ketika itu Perang Dunia II belum lama pecah.

Sejak saat itu, Lauren mulai menyadari bahwa dirinya berbeda. Sebelum peristiwa-peristiwa mengerikan benar-benar terjadi, konon Lauren sudah terlebih dulu mengetahuinya lewat "penglihatan" atau "pendengaran". Tak jarang Lauren dianggap gadis kecil yang aneh. Bahkan, Lauren sempat dijuluki nenek sihir yang naik sapu terbang.

Saat berusia 12 tahun, Lauren benar-benar meyakini bahwa dia memiliki indera keenam. Antoinet menjelaskan kepada Lauren bahwa mereka adalah keturunan kaum gypsy. Mereka dianugerahi bakat khusus untuk bisa melihat masa depan.

Perjalanan indah Lauren dan Antoineta juga tak bertahan lama. Ketika Lauren berusia 13 tahun, harus merelakan kepergian Antoineta yang sangat dicintainya. Di usia 16 tahun, Lauren hidup sebatang kara.

Sepeninggal Antoineta, seorang kerabat memasukkan Lauren ke sebuah asrama. Akan tetapi, ketika Lauren tinggal di sana, ia gerah dengan aturan asrama. Lauren pun kabur setelah seminggu tinggal di asrama.

Tahun 1953, Lauren meninggalkan negeri kelahirannya menuju Indonesia untuk mengikuti Natakusuma, suaminya yang menikahi tahun 1952 di usia Lauren baru 20 tahun.

Keduanya bertemu di Universitas Leuven, Belgia. Setiba di Indonesia, di tempat yang serba asing ini, Lauren berusaha beradaptasi, bahasa, makanan maupun budaya.

Selama lima tahun, mereka terus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Baru pada tahun 1958, Natakusuma, mengajak Lauren pindah ke Kotabumi, Lampung Utara. Selama dua tahun mereka tinggal di daerah perkebunan. (Ant/K004)

COPYRIGHT © 2010
Dikutip dari antaranews.com
....read more..
0

Upload file dapat duit..itt.ittt..!!!

Senin, 17 Mei 2010.
...Nah tips buat sobat-sobat netter, tau ziddu.com kan,,??? pastinya..!!! sobat-sobat yang biasa nya me-ngunduh file-file mulai dari mp3, video, software2, & segala file yang sobat download kebanyakan ada di sini, bagi yang biasa unduh-mengunduh, ny-dot pa ja lah, mendingan sobat daftar ja buruan di sini, coz selain sobat bisa ng-download file-file di Ziddu, sobat juga bisa mendapatkan uang dengan cara meng-upload file-file yang ada d PC sobat, yang mana barangkali banyak di cari para netter, mau tau kelanjutannya..??? buruan ja de daftar di sini,di sini, ataupun di sini.. ahaaiii. buruan ja de di klik,!! dan ikuti petunjuk-nya..!!! semoga berguna bagi sobat-sobat netter..
....read more..
0

Lorenzo Tetap di Yamaha

Jerez – Valentino Rossi menolak ide untuk terus berada satu tim dengan Jorge Lorenzo. Kondisi berseberangan terjadi di pihak Lorenzo, yang justru mau terus membela Fiat Yamaha bersama The Doctor.
Yamaha Rossi

Memiliki dua pembalap mumpuni tak selalu mendatangkan kabar bagus tim Yamaha. Hal tersebut terbukti pada hubungan segitiga antara tim tersebut dengan Rossi dan Lorenzo.

Sejak bergabung di musim 2008 lalu, Lorenzo sudah menunjukkan kalau dia punya potensi besar menyaingi seniornya. Kondisi yang menjadi nyata musim lalu, di mana Rossi berhasil menjadi juara dunia dan Lorenzo duduk sebagai runner up.

Saking sengitnya rivalitas antara mereka berdua, beberapa waktu lalu The Doctor sempat berucap kalau dia tak akan memperpanjang kontraknya yang habis musim ini jika masih harus berada di tim yang sama dengan Lorenzo. Pernyataan tersebut sempat memunculkan isu kalau Rossi bakal gabung Ducati.

Namun pandangan berbeda dimiliki Lorenzo. Meski tengah berkompetisi menjadi yang terbaik, kebersamaan dengan Rossi justru diharapkan oleh pembalap Spanyol itu.

“Saya pikir kami masih bisa bersama. Kenapa tidak? Pastinya saya punya banyak hal untuk dipelajari dari Valentino, dan jika itu terjadi di tim yang sama maka itu akan lebih baik. Meski bisa juga memunculkan satu pembalap lebih cepat dibanding yang lain, meski punya motor yang sama,” ungkap Lorenzo di Austopsort.

Soal kepindahan dari Fiat Yamaha, musim lalu Lorenzo juga sempat santer diisukan berniat pergi. Pemuda 22 tahun itu kini tak menyangkal kabar tersebut karena diakuinya pendekatan yang sempat dilakukan Ducati benar-benar membuatnya tertarik.

“Jujur saja, itu sudah sangat dekat, saya tak akan berbohong. Tawaran dari Ducati sangat menarik, dengan uang yang banyak, motor yang sangat cepat. Satu hal yang membuat saya bertahan di yamaha adalah kepercayaan Yamaha pada saya saat saya menjadi juara 250 cc. Karena itulah saya merasa harus tetap bersama Yamaha,” pungkas pembalap yang untuk kini memuncaki klasemen sementara itu.


Dikutip dari jendela olahraga.com
....read more..
0

Kelompok Nostalgia "Menjawab Tanda Tanya"

Kelompok Nostalgia menampilkan beragam gaya dan tema karya seni rupa berupa gambar, lukisan, patung, dan karya instalasi dalam suatu nuansa pada pameran bertajuk "Menjawab Tanda Tanya" di Bentara Budaya Yogyakarta.

"Kelompok yang beranggotakan enam seniman, yakni I Made Widya Diputra, I Made Adinata Mahendra, I Gusti Ngurah Arya Udianata, Pande Nyoman Slit Wijaya Suta, Kadek Agus Mediana Adipura, dan Afdal berusaha untuk merealisasikan ide dalam karya," kata Kepala Bentara Budaya Yogyakarta Hermanu di Yogyakarta, Selasa.

Menurut dia, untuk merealisasikan ide tersebut tidak mudah. Namun, mereka tetap berusaha keras untuk mewujudkan gagasan dan tumbuhnya harapan dari keterpurukan dengan cara membuat ruang pamer menjadi gelap atau hitam pekat.

"Dalam pameran yang berlangsung hingga 20 Mei 2010 itu mereka menampilkan gambar, lukisan, patung, dan beberapa karya instalasi dalam suatu nuansa, yakni karya-karya tersebut seolah-olah muncul dari kegelapan," katanya.

Ia mengatakan, meskipun berbeda karakter, enam seniman dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mempunyai semangat yang sama, yakni sebuah pemikiran bahwa apa yang ada di benak mereka kemudian dituangkan dalam sebuah karya.

"Pemikiran itu kemungkinan ada kesamaan dengan pemikiran beberapa orang sehingga para penikmat karya tersebut mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada di kepala mereka," katanya.

Menurut dia, persoalan yang disodorkan oleh para seniman itu antara lain kerusakan alam dan sampah yang digarap oleh Afdal dengan baik lewat konsep menggambar di atas kertas. Kemudian persoalan elpiji yang menyedot perhatian rakyat kecil divisualisasikan oleh I Gusti Ngurah Udianta dengan anyaman alumunium.

Persoalan lainnya adalah korupsi yang saat ini sedang hangat dibicarakan, di mana institusi kepolisian sedang disorot habis-habisan, I Made Adinata Mahendra melukiskannya dengan sosok jenderal polisi yang terpancing mulutnya.

"Namun, Kadek Agus Mediana Adiputra berbeda dengan yang lain. Seniman itu menyodorkan pemikiran tentang sesuatu yang berlebihan yang melanda orang-orang kaya, yang membelanjakan uangnya untuk kemewahan dan kenyamanan secara berlebihan," katanya.

Dikutip dari antaranews.com
....read more..
0

Oprek Hape Sony Ericsson k510i

Minggu, 16 Mei 2010.
 Bagi sobat yang kepengen meng-oprek handphone Sony Ericssonnya, silahkan download program berikut ini, XS++3.2 yang mana dengan firmware ini, sobat dapat merubah tampilan menu pada layar Desktop hape sobat, so itu hanphone, itu hape, ataupun mobile Sony Ericsson kesayangan sobat tampil dengan performa selera sobat,, gmn..??? keren kn..??? nah.. tunggu pa lg silahkan download firmwarenya dengan meng-klik logo berikut :
....read more..
5

Gratis Edit Foto Online

Kamis, 13 Mei 2010.
Sobat netter pasti pernah membaca postingan bagaimana membuat karikatur wajah dengan mudah dan cara menampilkan diri di cover majalah terkenal, nah kali ini untuk melengkapi postingan tersebut, saya akan ulas cara mengubah foto menjadi gambar kartun. Untuk anda yang sudah mahir photoshop mungkin tidak perlu layanan situs online pembuat foto jadi kartun, tapi kalau buat iseng-iseng juga kagak knapa koq... tapi jika anda belum mahir photoshop anda bisa kunjungi situs befunky, silahkan klik disini untuk masuk ke situsnya.

Caranya, Setelah masuk ke situs tersebut, silahkan klik “get started”

dan silahkan upload file foto anda di tab upload seperti berikut ini:



Gunakan tools dan photo effect yang di sediakan



Anda akan bisa berkreasi dengan mudah mengubah foto yang ke berbagai macam gambar kartun hanya sekali klik, contoh hasilnya bisa anda lihat screenshot di bawah ini :





.....Berkreasilah meng-edit foto anda.. semoga bermanfaat...

....read more..
0

Cara Bikin template Blog Sendiri

        ...Nah bagi sobat-sobat nih para blogger yang masih pemula,   sama kayak sagitarius boy yang juga masih pemula.. hee...hee.. !!!!!!!! oK... bagi sobat pemula yang ingin mengubah template blog nya, yang mana kalau pake template yang telah di sediakan oleh blogger kelihatannya kurang elegan, kurang macho, dan kurang apalah menurut sobat2 gito ya.,.  Sebenarnya, template yang disediakan blogger pun bisa kita utak atik di HTML, agar blog kita kelihatan macho sesuai selera kita. Hanya saja kita yang memang awam, dan gak mengerti sama sekali bahasa peograman HTML, rumit juga jika harus meng-utak-atik tu HTML..      Oleh karena itu, sagitarius boy menemukan sebuah...mmmm semacam bantuan lah gitu.... untuk merubah template blog kita. Sobat, sebenarnya ada banyak jasa penyedia template untuk blog d media internet ini, sobat bisa mencarinya sama om Google, tapi yang akan saya jelaskan disini hanyalah 2 macam penyedia jasa blog templates, yakninya : 1. Blogger Support Template 2. Zoom Template. Sebenarnya antara cara 1 dan 2 masih ada kesamaan bahkan persis sama, hanya saja pada Zoom Template, kita harus download dulu.. 6' rumit koq,,..!! simpel ja..!!! well, langsung k TKP, sobat-sobat silahkan,, monggo di klik untuk menggunakan cara pertama yaitu Blogger Support Template Berikut ini tutorialnya..:

klik Design / Layout pada Blog sobat yang ingin di oprek template nya seperti berikut..:



Setelah itu klik Template Designer pada menu Designer seperti berikut...:



Pilih salah satu template yang di sediakan..



Pilih ackgroun image yang akan dipakai klik Done..


Dan begitu selanjutnya,, Anda tinggal memodifikasi template anda, pilih model body layout-footer layout- Adjust width-untuk menyesuaikan besar pixel entire blog, right sidebar ataupun left sidebar.. & jangan lupa sesuaikan jenis font, warna font tab backgroun dan segala macamnya., terserah.. sobat mau atur sendiri sesuai selera sobat, Tapi ingat..!!!! buatlah template se unik mungkin agar para netter yang lain sering berkunjung ke blog anda, anda pasti paham menggunakannya, karena caranya sangatlah simpel..
Jika sudah selesai modifikasi terus klik....: Apply to Blog




...CliiiiiiNNng..!!!! jadi de template nya sobat..!!

dan sekarang untuk cara kedua. sebagai berikkut :





untuk background, mungkin sobat ingin memakai background foto sendiri atau foto-foto lain, yang mana tentunya 6ak di sedia'in bloger, untuk itu kita memodifnya di HTML, dan untuk penjelasan dengan HTML ini, insya allah akan saya jelaskan lain waktu.. harap sobat sabar.. Semoga penjelasan saya tadi berguna / bermanfaat bagi sobat...




....read more..
11

Tikam Samurai Bagian V - Makmur Hendrik

Selasa, 11 Mei 2010.
Tikam Samurai (Bag 5) 

Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak berani bergerak sedikitpun. Meski di halaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas depa dari¬nya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun si Bungsu tak pernah punya keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.


Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehor¬matan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama di atas rumah mereka. Tidak. Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu? Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang ”tak lengkap”, betapapun dia pernah amat membanggakan ”ilmu” judinya.
Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo menyabetkan samurai¬nya.

Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah si Bungsu yang masih duduk berlutut dan meman¬dang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya. Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bendul jendela. Si Bungsu masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam.
Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat ping¬gang. Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain dari anaknya ini? Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.
"Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!" dia bermohon¬-mohon dengan tubuh menggigil.......
Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini. Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat. Anak haram jadah!, maki mereka. Saburo memegang hulu Samurainya. Si Bungsu jadi terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya. Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu. Namun anak muda pengecut ini memang sial. Pedang Sa¬murai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia tersentak. Rubuh ter¬telungkup dengan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul. Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong ter¬dengar bersahutan. Perempuan-perempuan berpekikkan diseret ke bawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet.

Menjelang sore, kampung itu hampir rata dengan tanah. Asap mengepul di mana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan. Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu. Tak kurang dari sepuluh nyawa melayang. Dan di pihak Jepang hanya 3 serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa. Beberapa rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni. Serdadu Jepang itu sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar ke beberapa kota utama di Minangkabau.

Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintik-rintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada orang lain di kampung itu yang kelihatan hidup. Mereka semua melarikan diri. Menyelamatkan nyawa mereka dari kebiadaban serdadu Jepang. Jepang memang punya alasan untuk menyikat kampung itu hingga rata dengan tanah. Sebab kampung itu merupakan basis pertama dalam sejarah perlawanan rakyat di Minangkabau terhadap kekuasaan Jepang. Dan setelah Datuk Berbangsa sekeluarga dibunuh, kampung itu menjadi kampung tinggal buat sementara. Namun dari kesepuluh tubuh yang malang melintang itu ternyata masih ada yang hidup. Hujan rupanya mengembalikan kesadaran yang hidup itu. Di halaman rumah Datuk Berbangsa ada sosok tubuh yang bergerak. Mula-mula tangannya. Tubuh yang bergerak itu adalah si Bungsu!. Wajahnya tertelungkup rapat ke tanah. Dia rasakan punggungnya amat pedih dibasahi air. Dia masih terpejam. Namun tangannya digerakkan perlahan. Tercium bau tanah dan sawah yang harum dari angin yang bertiup dari kaki gunung Sago Terasa tetes air
Aku masih hidup...” bisik hatinya. Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah halaman rumah di mana di waktu kecil dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang memerah. Itu pastilah darahnya.
Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.

Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran. Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat. Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar? Ayahnya sudah sering keluar. Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang berlatih. Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.
Malam itu dia memang terlambat datang ke tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil dimana biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya. Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi. Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya. Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu. Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.
”Engkau memang dilahirkan untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?”
....read more..
0

Tikam Samurai Bagian IV - Makmur Hendrik

Tikam Samurai (Bag 4)

Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri.


Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di de¬pan surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli.
Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat . Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan pe¬rempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.
"Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadi¬kan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata, sampaikan ucapan saya ini pada orang ¬orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini bersembunyi entah di mana. . ."


Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat serdadu itu tergeng¬gam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.
Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar tiga puluh ser¬dadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.
"Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini. . !!" seru Komandan tentara Jepang itu.


Beberapa penduduk memberanikan diri melihat keja¬dian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak isterinya. Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu.
Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia me¬natap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya.Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.
"Ibu.... !!" himbaunya.
Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya.
"Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung....

Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa ber¬judi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?" suara ayahnya terdengar bergema tajam.




Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulut¬nya. Dia menatap ayahnya. Menatap ibunya. Menatap ka¬kaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap padanya dengan kepala tegak.
"Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. . Nak!" Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.
"Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan. . ."




"Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he? Bagero!"
"Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!" Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.
Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak.
"He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk".
"Saya akan berkelahi sampai mati!"
"Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?"
"Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan ber¬kelahi dari orang lain!"
Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.
"Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?"
"Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih berta¬rung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami. Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai . . "
"Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!" Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.
Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang mereka. Kemudian mem¬bentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk Berbangsa yang terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya.
Nampaknya mereka sudah bicara saat bersem¬bunyi di loteng. Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
"Duluanlah. Saya menyusul . ." ujar Datuk Berbangsa kepada Datuk Maruhun.




Dia tak dapat segera melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, si Bungsu!. Dia tahu suaminya tak menyukai si Bungsu.
Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama sembilan bulan, yang dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat? Dia mengakui anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu akan membenci anaknya?. Demikianlah hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa, sekali lagi ”jika sangat terpaksa”, dia lebih rela kehilangan suami dari pada kehilangan anaknya.




Karena hari telah siang, untuk melarikan diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan patroli Jepang. Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Ber¬sembunyi dan menanti malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar siang ini si Bungsu pulang. Dia akan mem¬bujuk suaminya untuk membawa serta anaknya itu mengungsi. Namun nasib mereka memang sedang malang. Per¬sembunyian mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu.
Serdadu itu melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng. Siapa lagi yang akan membuang tangga? Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah Samurai.
"Kau boleh memilih senjata Datuk ...," kata Saburo.




"Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan tulang yang delapan kerat" suara Datuk itu terdengar perlahan.
Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak ber¬kedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat dengan tegak lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
"Engkau boleh menyerang duluan Datuk......," Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak menyaksikan kehebatan penduduk pri¬bumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya seperti Datuk ini. Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan Datuk ini. Dia menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.
Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara perlahan pula, hampir-hampir tak kelihatan, ber¬gerak mili demi mili mendekati gagang samurainya. Ini adalah gerakan pendahuluan. Tiba-tiba tangan itu bergerak cepat. Dan saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri kemudian berguling di tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk diceritakan. Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak bisa dipercaya. Gerakan Samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala samurainya baru keluar separoh.




Siku si tinggi besar itu kena dihantam tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu terpekik. Sikunya patah! Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga terlambat. Guru Silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke selangkangnya. Tubuh Jepang itu terangkat sejengkal, kemudian tertegak lagi di tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak. Tapi Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan kanannya ke leher Jepang itu.
Itu adalah sebuah serangan yang disebut ”Tatak Pungguang Ladiang” dari jurus Kumango yang terkenal ampuh. Tetakan dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut. Begitu suara berderak terdengar, begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah tanpa nyawa! Hanya dalam sekali gebrak, serdadu Jepang itu mati! Beberapa saat suasana jadi sepi. Benar-benar sepi.
Keenam serdadu yang membuat lingkaran besar itu ternganga. Kapten Saburo sendiri hampir-hampir tak mempercayai matanya. Lelaki pribumi ini telah membunuh seorang samurai dari Jepang hanya dengan tangan kosong. Mung¬kinkah ini? Apakah ini tidak semacam sihir? Tapi ini memang kejadian. Dia tak melihat lelaki itu mempergunakan sihir sedikitpun. Serangan itu benar-benar sebuah serangan silat yang telak dan tangguh dari silat aliran Kumango!
Kini Datuk Berbangsa tegak dengan kaki dipentang. Tegak dengan gagah menatap kepada Kapten Saburo. Kapten itu memberi aba-aba dalam bahasa Jepang. Dua orang serdadu maju ke depan. Kedua mereka juga menyisipkan samurai di pinggang. Mereka kembali saling memberi hormat. Ini adalah per¬kelahian kaum satria. Salah satu dari Jepang yang maju ini bertubuh pendek dan kurus. Gerakannya gesit sekali. Yang satu lagi agak tinggi dengan tubuh sedang. Begitu habis memberi hormat, begitu dengan cepat sekali mereka menghunus samurai dan menyerang!
Datuk itu berbarengan diserang dari muka dan belakang. Saburo dengan jelas sekali melihat kedua prajuritnya masing-masing mengirim serangan tiga jurus. Berarti Datuk itu diserang enam jurus dalam gebrakan pertama saja. Enam bacokan yang cepat dan terarah! Namun ketika kedua Jepang itu kembali tegak dengan diam sambil memegang samurainya, Datuk itu juga tegak tiga depa dari mereka dengan diam dan tak kurang satu apapun! Luar biasa!!. Tanpa dapat ditahan, dan diluar sadar, beberapa serdadu Jepang yang menyaksikan pada bertepuk tangan.




Saburo harus mengakui, bahwa Datuk itu memang patut mendapat tepuk tangan dari serdadu. Tatkala kedua serdadu itu tadi menyerang, Datuk Berbangsa segera bergulingan ke tanah. Dua kali bergulingan dia berhasil menghindarkan dua bacokan. Kemudian seperti kucing dia melompat bangun dengan gerakan seenteng kapas. Lompatannya tinggi dengan kaki dilipat. Dengan gerakan yang diperhitungkan ini, empat bacokan berhasil pula dia elakkan. Gerakan selanjutnya dia melompat dan menunduk sambil memutar. Gebrakan pertama berakhir.
Kini mereka saling menatap. Yang bertubuh agak sedang lambat-lambat mengingsut tegaknya. Telapak kakinya beringsut di pasir mili demi mili. Kedua tangannya dengan kukuh memegang hulu samurai. Kini jarak mereka hanya tinggal sedepa. Datuk Berbangsa memiringkan tubuh dengan jari kanan lurus di depan dada dan sudut mata memandang pada mata Jepang itu. Mereka tegak bertatapan. Tiba-tiba dengan sebuah pekik Bushido, sejenis pekik khas para pesilat Samurai, serdadu itu membuka serangan.
Namun ternyata Datuk Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan.


Hanya saja, makin tinggi kepandaian seorang samurai, makin tak kelihatan gerak mengambil ancang-ancang itu. Dan makin cepat dan halus pula gerakannya. Jepang ini gerakannya cukup cepat. Namun tak begitu cepat di mata Datuk yang guru silat Kumango ini. Sebagaimana jamaknya pesilat-pesilat tangguh, dia tidak melihat pada gerakan senjata lawan. Dia menatap langsung ke mata serdadu itu. Di sana pesilat-pesilat tangguh dapat membaca kemana gerakan tangan dan kaki setiap lawan. Itulah yang dilakukan oleh Datuk Berbangsa. Begitu tangan Jepang itu bergerak, dia segera mengetahui bahwa tangan Jepang ini akan bergerak sedikit ke kanan.
Dan kesempatan yang sedikit itulah yang dinantinya. Sebelum gerakan itu sempurna, dengan kecepatan loncat¬an seekor harimau tutul, dia melesat ke arah Jepang itu. Dan sebelum Jepang itu sadar apa yang terjadi, Datuk Berbangsa telah memiting leher Jepang tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sempurna dia mere¬mas kedua tangan si Jepang yang memegang Samurai. Jepang itu terpekik. Saat itulah temannya yang seorang lagi sadar bahwa bahaya tengah mengancam temannya, dia lalu diam-diam menyerang dari bela¬kang. Namun Datuk Berbangsa memutar Jepang yang masih dia piting itu. Jepang itu dia jadikan sebagai perisaai. Se¬mentara serdadu itu tak berdaya menggerakkan samurainya, karena tangannya tengah dicengkam amat kuat.
Si kurus tidak bisa berbuat banyak. Dia harus hati-hati agar serangannya tak mengenai kawan sendiri. Mereka berputar-putar sejenak. Suatu saat Jepang itu berputar dengan cepat. Karena tengah memiting lawan, Datuk Berbangsa tidak dapat bergerak lincah. Dia kurang cepat berputar. Saat itulah serangan Jepang itu datang dari belakang. Namun kembali suatu keajaiban terjadi. Datuk Berbangsa kiranya sengaja memancing dengan membiarkan lawannya ke belakangnya. Dan ketika angin serangan samurai itu datang, dia meluncurkan dirinya ke bawah. Menjatuhkan diri dan bertekan di tanah dengan lutut kanan. Samurai lawannya yang dia piting itu tiba-tiba berpindah ke tangannya. Dalam suatu gerakan yang sempurna samurai di tangannya dia tikamkan ke belakang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi lawan di belakangnya bukan pula sembarang samurai.




Gerakannya ternyata amat cepat. Meski Datuk Berbangsa sempat selamat dari bacokan yang fatal, namun tak urung punggungnya robek sehasta. Mulai dari bahu kanan mereng ke lambung kiri. Darah membanjir. Dan saat itu pula Jepang yang menyerang dari belakangnya itu terhenti dan terpekik. Samurai kawannya yang berhasil dirampas dalam suatu gerakan yang disebut Piuh-pilin dari jurus Kumango yang sempurna dan dihujamkan ke belakang oleh Datuk Berbangsa, kini menancap hampir separohnya ke dada Jepang itu.
Samurai itu tembus dan menyembul keluar dari baju di punggungnya! Semua Jepang yang ada di sana jadi tertegun kaget dan kagum akan kehebatan perkelahian itu. Belum pernah mereka melihat perkelahian antara pribumi memakai samurai sedahsyat ini. Belum sekalipun! Datuk ini benar-benar memiliki ilmu silat yang tangguh, pikir mereka. Jepang bertubuh kecil itu masih tertegak diam. Mata¬nya berputar. Dia tegak setengah hasta di belakang Datuk Berbangsa yang masih memegang samurai itu dengan kuat. Lambat-lambat Jepang itu mengangkat samurai di tangan. Dan menebaskannya ke leher Datuk Berbangsa yang masih tetap berlutut membelakanginya. Namun gerakan Jepang itu hanya sampai mengangkat samurai saja. Setelah itu gerakannya terhenti tiba-tiba. Dan tubuhnya rubuh ke belakang. Mati! Semua orang terdiam.
Tapi isteri Datuk Berbangsa terpekik melihat darah di punggung suaminya. Dia berlari menghambur ke tengah lingkaran. Tapi Kapten Saburo Matsuyama menganggap sudah cukup memberi angin pada Datuk itu. Dalam marahnya yang luar biasa, dia mencabut samurai, dan di saat isteri Datuk itu lewat di sampingnya, samurai itu beraksi. Isteri Datuk itu tersentak, tapi dia masih tetap melangkah ke arah suaminya. Tubuhnya telah hoyong tatkala mencapai suaminya.
"Uda....perempuan itu rubuh ke pangkuan suaminya.
"Jahannam.......Jepang jahannaam!" Datuk Berbangsa memekik. Dan meletakkan isterinya di tanah. Dengan punggung robek dia tegak menghadapi Kapten Saburo.
Saburo dengan mata yang nyalang menatapnya. Kini Datuk itu menyerang duluan. Tetapi mungkin karena keah¬lian Saburo memang jauh lebih tinggi dari pada anak buahnya, atau mungkin pula karena Datuk itu dalam keadaan luka, perkelahian mereka kelihatan tak seimbang.
Datuk Berbangsa memegang samurai dengan meng¬hadapkan ujungnya ke belakang, dia menikamkannya ke arah Saburo. Sebuah tikaman ke belakang yang tadi telah menghabisi nyawa serdadu yang menyerangnya dari bela¬kang. Sabetannya yang pertama, yang mengarah ke depan, membunuh serdadu yang tadi dia piting lehernya. Tapi tikaman samurai ke belakang itu tak mengenai sasaran. Saburo menghayunkan samurai dalam tiga serangan berantai. Datuk Berbangsa menangkisnya. Namun serangan tiga serangkai itu merupakan serangan tangguh. Begitu dia menangkis sabetan samurai Saburo, dia merasakan tangan¬nya kesemutan. Tanpa dapat dia cegah, samurai di tangan¬nya lepas. Bukan main hebatnya tehnik dan tenaga Saburo.
Samurai itu melayang ke udara. Datuk Berbangsa tak mau menanti. Dia mengirim sebuah tendangan. Dan ten¬dangan itu tak diduga sedikitpun oleh Saburo. Kapten itu terjajar ke belakang karena perutnya kena hajar tumit Datuk Berbangsa. Dia jatuh berlutut. Dan saat itu samurai yang tadi terlambung meluncur turun ke atas kepala Saburo.
Tapi perwira Jepang ini memang seorang samurai pilihan. Dia mendengar desiran angin samurai yang menghunjam ke arah kepalanya itu. Tanpa menoleh ke atas, dia memutar samurai di atas kepalanya. Dan samurai itu kena dipapas, dan dengan amat laju melayang ke arah Datuk Berbangsa. Datuk itu coba mengelak, namun samurai ter¬sebut terlalu cepat. Dan karena dia coba mengelak, tubuhnya miring ke kiri. Dan crepp!! Samurai itu menancap separoh ke dada kirinya. Menembus jantung! Tembus ke punggung! !
Datuk Berbangsa tertegak. Dia tak mengeluh sedikit¬pun. Si Bungsu terlonjak.
"Ayaaah" pekiknya, namun dia takut untuk bangkit.
Ayahnya tak menoleh ke arahnya. Lelaki tua perkasa dan keras seperti baja itu lambat-lambat jatuh di atas kedua lututnya. Matanya masih menatap Saburo.
"Beginikah sikap satria seorang samurai yang dibanggakan itu? Membunuh seorang perempuan dan menghantam orang yang luka?" Datuk Berbangsa bertanya dengan tatapan mata yang membuat hati Saburo jadi ciut.
Datuk itu bicara lagi, perlahan :
"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku.........Saburo....!"
Ucapannya tererhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh ter¬telentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati di ujungnya.




Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.
"Bersihkan kampung ini !" teriaknya pada anak buahnya.
Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.
Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Di tengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu menyebabkan nafsunya menyala.


Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki gadis itu terkulai ke bawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar. Di bawah rumah itu ada kandang ayam sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam di atas rumah, yang ditimbulkan oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut.
Induk ayam itu tegak dan berlari ke tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sahap induknya. Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar.
Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh induknya. Kemudian menyeruak di antara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk ke bawah ruangan di bawah perut ibunya. Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputar-putar di antara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar di bawah. Bersambung
....read more..
2

Tikam Samurai Bagian III - Makmur Hendrik

Selasa, 04 Mei 2010.
Tikam Samurai (Bag 3)

Kabar tentang putusnya pertunangan itu segera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun para pemuda di kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut. Sebab bersamaan dengan putusnya pertunangan itu, ke kampung mereka, dan juga ke kampung-kampung lainnya, berdatangan serdadu Jepang. Mula-mula para serdadu itu datang dengan baik-baik.
Tapi itu hanya sebentar. Sepekan kemudian segera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari kaum lelaki. Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota. Beberapa kantor di Bukittinggi, Payakum¬buh, Padang Panjang dan Padang membutuhkan tenaga lelaki. Begitu menurut kabar yang disiarkan. Namun kabar itu hanya mampu bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya Jepang-jepang itu tak lagi meminta kaum lelaki dengan bujukan.


Kini mereka main tangkap. Penduduk segera tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang ditangkapi dan dibujuk dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan belantara Riau. Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga dipaksa membuat jalan kereta api. Tidak hanya sampai di situ kekejaman Jepang-jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang. Dalam beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas samurai. Sejenis pedang panjang yang tajamnya bukan main, dan baru kali itu mereka lihat
Beberapa lelaki mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama adalah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah si Bungsu. Mereka berlatih silat di tengah malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai kampung itu. Tempat mereka latihan juga tersembunyi. Sangat dirahasiakan. Latihan mereka kini ditambah dengan cara meng¬hindarkan serangan dengan pedang panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.


Sebelum ini mereka tak pernah berfikir bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih adalah menghindar¬kan tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang panjangnya tak sampai dua hasta.
Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka kenal. Cara mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga pesilat-pesilat tangguh menurut ukuran negeri mereka sana. Sebab dalam beberapa kali perkelahian antara Jepang dengan pesilat Minang di kampung mereka, pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai beberapa hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan leher hampir putus.
Jepang-jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat. Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kemba¬li mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit! Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melum¬puhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.


Malam inipun mereka sedang berlatih di tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan, bekas tunangan si Bungsu. Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang. Yang lain tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Ter¬masuk ayah si Bungsu. Datuk Maruhun tengah memberikan petunjuk di tengah sasaran --gelanggang silat-- tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya senter. Mereka berusaha menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih selusin serdadu Jepang.
"Hemmm, latihan silat ya. Latihan menghindarkan serangan Samurai ha!? Bagus! Bagus..!” ujar seorang Jepang berperut gendut bermata sipit sambil maju ke depan.
Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali merupakan komandan penyergapan ini.
"Teruslah latihan!. Saya suka silat Minang. Bagus banyak, eh banyak bagus", ujar si gemuk sambil menerkam ketujuh lelaki itu dengan tatapan matanya. Ketujuh pesilat itu tak bergerak dari tempat mereka.
"Dari mana mereka tahu tempat sasaran ini?," bisik Datuk Maruhun pada lelaki yang tegak di sisinya.
Lelaki itu tak menyahut. Semua mereka memang merasa terkejut atas kemunculan serdadu Jepang itu. Tak seorang¬pun yang mengetahui tempat latihan ini selain anggota mereka. Apakah di antara mereka ada yang ber¬khianat?
"Ayo mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?" si Gemuk itu bicara lagi.
Karena tetap saja tak ada yang menjawab, dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Jepang itu maju. Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya samurai di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.

"Hei, kalian berdua!. Majulah dan lawan dia . . ”
Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang pesilat.

"Majulah.... kita memang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba. Lawanlah dengan segala usaha. Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam berjuang, " bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu.
”Doakan kami Datuk. . . . Kalau kami mati duluan tolong anak bini kami..,” lelaki itu balas berbisik perlahan.
"Jangan khawatir pada yang tinggal. Majulah, kami doakan . . . "
Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak sedepa di hadapan Jepang itu. Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu memberikan petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan diam, sementara tangan kanannya berada di gagang samurai yang masih tersisip dalam sarung di pinggangnya.
Pesilat yang di sebelah kiri mulai membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan. Itu ber¬arti mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu masih tetap tegak dengan diam.


Tiba-tiba pesilat yang ada di depan menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat yang satu lagi bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak itu, dia mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya. Beberapa saat Jepang itu masih tegak.
Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan bergerak sedikitpun. Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu masih di pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan pung¬gungnya nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku. Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya. Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati, tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.


Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan matanya yang setajam burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam. Seorang lagi tentara Jepang masuk ke tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung. Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia menghunus samurainya. Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat dengan kedua tangannya. Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara :
"Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian mak¬sud dengan mempergunakan kayu panjang ini sebagai alat latihan bukan? Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!"
Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan.
"Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan kesalahan kami . .," mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka menghadapinya dengan tabah.
"Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah, Tuhan bersama kalian . . .," Datuk Maruhun berkata perlahan.
Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang tombak. Yang satu memegang pedang.Namun sebelum mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang anak buahnya.
"Hei, mana monyet tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . ."
Tak sampai beberapa hitungan, ”monyet” yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan dari balik semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala melihat siapa yang dikatakan ”monyet” itu.
"Bungsu!!" Datuk Maruhun berseru kaget.
"Bungsu!" Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru. Dan tiba-tiba kelima mereka dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.
”Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?” Datuk Maruhun memben¬tak.


Anak muda itu hanya menarik nafas panjang. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, menatap kelima lelaki orang kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa akan muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba mengangkat tom¬baknya dan menghayunkan pada si Bungsu. Namun sa¬murai di tangan si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum sempat dilemparkan.
"Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau kami sumpahi. Laknat jahanam!!" Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya.
Namun anak muda itu tetap saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada kedua lelaki itu dia lalu berkata:
"Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . ."
Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah dielak¬kan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.
Beberapa kali pedang dan tangan di tangan pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang itu. Bunga api memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh si Jangkung dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk me¬mecah kosentrasinya. Sepuluh jurus berlalu.
Tak kelihatan pihak mana yang akan menang. Datuk Maru¬hun dan kedua temannya merasa gembira dan berdoa agar teman mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama. Si Komandan memberi petunjuk dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam. Dan ketika tiba-tiba kedua pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar dengan cepat. Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu rubuh mandi darah. Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar. Yang memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua.


Sasaran itu kini bergenang darah dalam hujan rintik yang makin lebat.
"Nah, kalian sudah lihat. Bahwa silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan coba-coba membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali ke kampung. Tunjukkan di mana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah monyet ini, . ."
Datuk Maruhun menatap pada si Bungsu yang disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.
"Waang tidak hanya pantas disebut beruk buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling jahanam di dunia ini. Kenapa tak waang katakan sekaligus di mana Ayah waang bersembunyi pada Jepang-Jepang ini?"
Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada si Bungsu. Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan dengan kepala tunduk, mata sayu dan wajah murung. Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu, mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada di sana, mereka yakin bahwa Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini.
Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapat¬kan uang untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya pen¬duduk padanya.
Kabar tentang khianatnya si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara lang¬sung. Di kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang.

Jepang-jepang itu tak berhasil menemukan Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka menem¬patkan lima orang serdadunya untuk menjaga dan menang¬kap kalau-kalau Datuk itu muncul sewaktu-waktu. Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang ter¬tangkap di sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi. Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah perang melawan serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan tentara Belanda. Bersambung...
....read more..
0

Tikam Samurai Bagian II - Makmur Hendrik

Senin, 03 Mei 2010.
Tikam Samurai (Bag 2)

Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa membosankannya. Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah akibatnya. Lambat-lam¬bat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk. Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau.

Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terse¬rak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babi halus ... Jarum udang ... Tali sirah...” katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.

Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu. Hanya kini dari mana dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah, Ibu dan ayah¬nya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya pa¬ling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.
Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci meli¬hat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Men¬ding belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat.

Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayah¬nya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot.
Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun! Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui ”mata” berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar¬ benar tak menyukainya.

Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia ber¬mimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia ter¬bangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpi¬nya dia turun dari surau tersebut. Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perem¬puan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.

"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya ... ?"
Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.
"Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."
"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendi¬ri "
"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu”.
"Tak ada urusanku dengan mereka . ."
"lni tentang pertunanganmu . ."
Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-¬kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu. \
Sementara sambil makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.

“Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding."
"Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?"
"Ya. ."
"Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”
”I'api . ."
"Soal perkawinan?"
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.
"Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?" tanyanya dengan datar.
Ibunya tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri de¬ngan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.
"Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?"

Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.
"Bungsu! Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!" Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan....”
"Bungsu!" ayahnya membentak.

Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata:
"Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!"
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manis¬nya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melang¬kah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu teng¬ah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
"Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . ." ayahnya menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.

Akan halnya perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian sebentar ini memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki pertunangan diputuskan. Tapi tak terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.
Renobulan adalah gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan si Bungsu. Orang tahu bahwa pertunangan itu hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno dan keluarga si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan kedua keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu.

Terpandang dalam turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama mereka. Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta pusaka tak jatuh ke tangan "orang luar". Padahal semua orang berani bertaruh, bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai si Bungsu.
Bah, apa yang diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki seperti si Bungsu? Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa. Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung lain, yang tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah jatuh hati pada Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga harta warisan.
Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan. Mereka berusaha agar si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu?

Si Bungsu melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan yang aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan tunangannya itu sebanyak tiga kali. Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika sembahyang Hari Raya.
Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu. Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara lelaki yang memburu cintanya. Puih!
Kini pertunangannya yang tak berkelincitan itu sudah tamat riwayatnya. Hatinya jadi lega. Ya, dia jadi lega. Sebab dia semakin bebas untuk berjudi.
”Hmm, kemana harus mencari modal untuk berjudi?”, pikirnya sambil terus melangkah meninggalkan surau tua itu....
Bersambung
....read more..
0

Tikam Samurai Bagian I - Makmur Hendrik

Tikam Samurai (Bag 1)

Perkelahian yang tak seimbang itu segera saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar 19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian anak muda itu sobek-sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu. Uang itu tadinya adalah uang mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore kemarin.

Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang penjudi ulung. Tiap berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan. Perjudian hampir selalu diakhir perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawan-lawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri!

”Lihat-lihat dulu orang yang akan waang lawan buyung. Jangan sembarang main saja.......!!!”
Salah seorang dari lelaki yang berempat itu berkata. Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak mendengar apa-apa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan di antara puntung rokok daun enau. Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya.
Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek di sana. Tempat. mereka berjudi memang tempat yang terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk. Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang guru mengaji mati diterkam harimau saat pulang mengajar. Kam¬pung jadi gempar.Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa. Berjudi dengan daun ceki.

Mere¬ka tak takut pada harimau. Sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para pejudi. Sebab berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang orang berani dan berilmu tinggi saja yang berani main ke sana.
Untuk mencapai surau itu harus melewati kubur¬an. Kemudian sebuah lembah berbelukar. Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah ditinggal dan jadi belukar.

---o0o---

Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelungkup. Menggerakkan kaki. Matanya masih terpejam. Hidungnya mencium bau tanah liat. Telinganya lambat-lambat mendengar kicau burung.
”Hm, . . . aku masih hidup,, bisiknya.
Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia berhasil juga menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun pepohonan. Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-goyangkan kepala yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat untuk memeriksa uang dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang.

Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa mereka adalah perewa dan penjudi. Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah penjudi yang lihai. Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati yang dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.

”Minta api” katanya pada salah seorang yang mengisap rokok daun enau.
Orang itu tak segera bereaksi. Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya.
”Terima kasih” ujar anak muda itu seraya mengambil rokok yang tinggal puntung pendek itu.
Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.

”Berminat main?” dia bertanya dengan tenang.
Ah, dia memang ahli dalam soal ini. Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu kembali menatapnya. Kemudian menatap pada ketiga temannya yang masih tetap dengan tenang mengisap rokok dan duduk mencangkung. Salah seorang di antara mereka mengerdipkan mata. Dan anak muda itu dapat menangkap isyarat kerdipan itu dengan sudut matanya. Namun dia pura-pura tak tahu.
"Main apa waang bisa?" lelaki itu balik bertanya.
"Main apa saja!" jawabnya, pasti.
"Koa?"
"Boleh!"
"Dadu?"
"Boleh!"
"Barambuang?"
"Boleh. Sembaranglah!"
Lelaki itu kembali menatap tiga temannya. Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah matanya yang juling.

"Wang dengan siapa?"
”Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya bisa main sendiri, dan ....menang !".
Lelaki yang puntung rokoknya di¬buang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa "memakan" anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.
”Di mana tempatnya?"
"Terserah"
"Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tem¬pat bermain yang baik. . ."
"Saya tahu . . ."
"Di mana . . ."
"Si surau usang di hilir kampung sana. . ."
"Tempat guru mengaji diterkam harimau itu?"
Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.
"Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan orang sini?"
"Kejadian itu sudah lama bukan? Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa tahun yang lalu"

Anak muda itu menarik nafas.
"Benar! Di sanalah tempat main yang aman. Bagaima¬na, berani ke sana ?"
Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak muda ini.
"Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan ¬kawannya buyung. . ."
Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.
"Baribeh?"
"Ya. Waang tak pernah mendengarnya?"
"Pernah. Baribeh itu binatang"
Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya karena menahan berang.

"Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek," ujar lelaki itu dengan suara berat.
"He, bukankah Baribeh itu memang binatang? Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kampeh untuk mendapatkan getahnya, kanapa Sanak mesti marah?"
Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu.
"Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?"
"Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk berkelahi . . ."
"Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?”
”Tengah malampun saya mau. Saya tunggu kalian disana”.
Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.
”Pukimaknya!. Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu...,” maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu.
"Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu".
"Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul".
"Dadu itu selalu saya bawa.." jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.
Panggilan itu ternyata singkatan dari kata ”Juling”. Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.
Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.

Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam usia yang sedemikian mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk. Tapi anak muda itu tetap seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung, tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.
Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai "simpanan" agak sedikit. Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Ku¬mango? Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh? Atau Sunua dan Silek Tuo yang terkenal itu? Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi kemenangan.
"Ah, kita istirahatlah sebentar....." si Baribeh berkata.

"Boleh. Berhentipun juga boleh..!” anak muda itu menjawab seenaknya.
Muka Baribeh dan teman-temannya jadi kelabu mendengar jawaban itu.
"Berhenti kata waang?! Adat di mana waang pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!" si Jul bertanya dengan nada tak sedap.
Tapi anak muda itu tetap cuek, malah dengan tenang pula dia balas berkata:
"Tak ada adat apa-apa dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir kalian akan pulang dengan celana dalam saja.........."
Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.

Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga kali sebanyak yang dia perli¬hatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke lampu togok yang bergoyang itu.
"Kalau lampu ini mati, kita akan susah....." tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.
"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab.
"Ada. Mengapa ?"
"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya...... " anak muda itu berkata lagi. Baribeh dan teman-temannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
"Siapa pula yang akan mematikannya?"
"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"

Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking menahan berang.
Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangan¬nya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya.

Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul meng¬hantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakkan. Dan ten¬dangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.

Keempat lelaki itu terkejut, tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.

Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak bisa disebut perke¬lahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuh¬nya melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.

Bersambung...
....read more..
 

SanK Shichiro
© Copyright 2010 | Design By Sagitarius Boy |